Bagian 15
Adzan subuh mulai berkumandang. Dengan malas ku buka mataku. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan ke kamar mandi. Mandi sepagi ini, tidak perlu air hangat biar sehat. itu yang aku dengar dari Eyang putri.
Selesai mandi aku bergegas solat subuh. Dan bersiap - siap. Eyang sudah menyiapkan makanan untuk ku. Cemilan di jalan. Dan juga sarapan dengan telor ceplok.
Selesai sarapan, ada suara mobil berhenti didepan rumah. Eyang kakung membukakan pintu. Aku masih sibuk menyiapkan tas ku. Dan segera keluar dari kamar.
Sesampainya diruang tamu ku lihat laki - laki itu bukan Ardi. Tapi dia Bivo. Ardi sungguh - sungguh menyuruh Bivo mengantarku pulang. Aku tersenyum. Entah apa arti senyumanku kali ini. Yang pasti aku bahagia melihat Bivo sedang bercengkerama ramah dengan Eyang Kakung ku.
Aku menghampiri mereka diruang tamu.
“ udah siap Vis ?” tanya Bivo
Aku mengangguk, segera aku dan Bivo memasukkan tas ranselku ke dalam mobil. Aku dan Bivo berpamitan pada kedua Eyang ku.
“ Yan.. berhubung Ardi sibuk, Eyang kakung sama Eyang putri, percayain Vista sama kamu yah,”
“ iyah Yang, saya pasti jagain Mavista dengan baik,”
Aku tersenyum mendengar jawaban Bivo. Kemudian kami bersalaman dan segera masuk ke mobil.
Aku melambaikan tanganku dari dalam mobil. Membalas lambaian Eyang putri dan eyang kakung yang sudah sangat sepuh dimataku.
“ Vis.. udah sarapan ?” tanya Bivo setelah beberapa saat kita diam membisu diperjalanan.
“ udah kog, kamu ?”
“ udah, minum susu tadi,” jawab Bivo singkat.
Tak berapa lama HP ku berdering. Ku lihat ada pesan masuk dari Ardi. Aku menimbang – nimbang. Akan membuka pesan itu sekarang atau nanti saja. Tapi melihat Bivo sibuk dengan mobilnya, aku segera membuka pesan itu.
# syg.. sdah brgkat ? mf tdak bsa mengantar, jam 4 subuh, aq dah dkmpus#
@sudah, tdk apa2, trmaksih@
#hati2, kasih kbar smpai drumah, jgn telat mkan#
@iyah..@
# i love u.. ;* #
@ lov u too.. ;* @
Aku mematikan ponselku dan memasukkannya ke dalam ransel di kursi belakang.
Bivo yang melihat tingkahku menjadi aneh sendiri.
“ kenapa hp dimatiin Vis?”
“ gak apa - apa Biv, lagi gak pengen ada yang ganggu aja”
“ cie,, mentang – mentang lagi sama cowo cakep, terus gak mau diganggu siapa - siapa” Bivo menggodaku.
Aku hanya menyeringis mendengar ucapan Bivo. Hari ini hingga tiga hari yang akan datang aku tidak ingin diganggu sama sekali. Aku ingin menikmati hari - hari ku dengan kenangan - kenangan indah ku dulu. Yah.. bersama Bivo pastinya.
Sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali perjalanan jauh aku selalu tertidur pulas. Sepertinya hanya 4jam perjalanan, aku sudah berada didepan rumahku yang sepi. Yah.. ibu dan Ayah juga Beby masih di Cilacap. Mereka pulang hanya hari – hari tertentu saja.
“ hey... kebo... bangunn....”
Bivo membangunkan ku sambil mengelus - elus rambutku dengan lembut.
Ku buka mataku. Sudah nampak kaktus didepan rumah. Yah.. aku sudah ada dirumah. Di Wonogiri. Aku segera membelalakkan mataku dan tersenyum bahagia melihat orang yang pertama ku lihat saat aku terbangun adalah Bivo.
Aku segera turun. Ku lihat sekeliling rumah. Aku bisa menghirup udara segar Wonogiri akhirnya. Ku lihat Bivo sedang memarkirkan mobilnya. Aku segera menghampiri pintu rumahku. Aku sudah berdiri didepan pintu sambil mencari - cari konci rumah di tas ransel ku.
“ astagaa....” aku menoleh pada Bivo yang sudah berada di belakangku.
“ kenapa ?” tanya Bivo heran
“ kunci rumah, lupa gak minta sama Eyang,” jawabku sambil memasang wajah kusut.
Bivo menghela nafas.
“ udah aku duga,”
“ kamu gak ingetin aku sih,”
“.................................”
“ Eyang juga kenapa gak kasih aku, dah gitu gak hubungi aku di sepanjang jalan, nanya aku dah dimana, apa ngasih tahu kuncinya ketinggalan..”
Bivo menggeleng - gelengkan kepalanya sambil tertawa mengejek ku.
“ gimana mau hubungin kamu Vis ? hp nya kan kamu matiin,”
Aku menepuk jidatku. Aku baru ingat aku mematikan HP selama perjalanan. Aku terduduk lemas.
“ menyedihkan sekali...”
Bivo ikut duduk disampingku. Kemudian meletakkan tangan kirinya dipundak ku.
“ jangan takut, nanti kita tidur di mobil ajah gimana ?” usul Bivo.
“ gak mau, nanti yang ada masuk angin, lagian emang gak mau masak, gak mau makan dengan damai ?” jawabku sambil merengut.
Sejenak kami sama - sama terdiam. Aku mengutuk diriku sendiri. Kenapa harus matiin HP. Pasti ini kualat sama Ardi sama Eyang gara - gara aku gak mau di usik.
“ kalau gitu, kita ke rumah besar aku gimana? Tapi yaa itu tadi, lagi gak ada pembantu, kan rumah itu rencananya mau dijual, sengaja di kosongin sejak Eyang ku pindah lagi ke Surakarta, gimana Vis ?”
Aku menimbang - nimbang usul Bivo. Boleh juga, kapan lagi bisa tidur di rumah Bivo yang segede alaihim itu. Aku langsung tersenyum cerah, dan menarik lengan Bivo untuk segera masuk kedalam mobilnya.
Bivo sudah menstater mobilnya. Ku urungkan niatku yang tadinya hendak menyalakan HP. Jangan sampai Eyang tahu aku dan Bivo terjebak dalam situasi ini. Bisa - bisa aku diceramahi Eyang Kakung gak berhenti - berhenti.
Tak selang berapa lama kami telah tiba di rumah Bivo. Di area komplek melati Pokoh Kabupaten Wonogiri. Aku heran, padahal Pokoh dengan Baturetno itu jauh meskipun sama - sama satu Kabupaten, tapi kenapa Bivo lebih memilih bersekolah disana, padahal katanya didekat rumahnya ada sekolah elit jauh lebih baik mutu dan kualitasnya.
Aku turun dari mobil setelah Bivo memberikan ku kode untuk turun dari mobilnya. Aku melihat sekeliling. Rumah yang dengan halaman luas seperti ini. Namun dipagar tembok tinggi menjulang ke atas. Walaupun dekat dengan tetangga, tetap saja tak berasa punya tetangga kalau rumah model seperti ini.
Aku segera masuk ke dalam rumah Bivo. Lumayan engap karena sudah sangat lama tidak di huni. Eyang Bivo juga hanya membayar orang saja untuk membersihkan rumah ini seminggu sekali. Bivo menyalakan AC dirumahnya. Padahal sekelilingnya sangat rimbun, tapi Bivo tetap menyalakan Acnya.
“ nah.. Non Vista, ini kamar sementara buat kamu,” ucap Bivo sambil membukakan pintu kamarnya.
Aku masuk dan duduk di kasurnya. Sementara Bivo membuka - buka jendela kamar agar udara masuk ke dalam kamar. Kamar ini lumayan rapi untuk ukuran laki - laki.
“ nah Vista, kamu istirahat ajah, aku mau keluar cari sarapan buat kita, sama cari bahan makanan yang bisa kita makan selama tiga hari,”
“ makasih yah Biv,”
Bivo tersenyum kemudian keluar dari kamar dan meninggalkan ku sendirian dikamarnya. Ku rebahkan badanku dikasur yang sangat empuk itu. Dalam hati aku iri dengan keberuntungan Bivo yang menjadi anak orang kaya. Papahnya bisa dua sampai tiga kali pulang pergi luar negeri dalam satu bulan. Sedangkan aku, hanya anak petani sederhana, juga pemilik toko kecil di depan rumah.
Hmm.. dasar manusia, tidak pernah beruntung padahal sudah dapat pekerjaan yang mencukupi. Dan aku jadi merindukan ayah dan ibu ku. Mereka sekarang jauh di Cilacap. Kalau papah Bivo dalam sebulan bolak - balik Belanda _ Yogyakarta, kalau ibu dan Ayah, bolak - balik Cilacap _ Wonogiri. Hiihii... aku tersenyum geli dengan angan - anganku sendiri.
Tak berapa lama aku bosan dikamar, aku turun dari kamar Bivo yang berada dilantai dua, sekedar ingin melihat suasana rumah Bivo. Sesampainya di ruang tengah ku lihat Bivo sedang menyiap - nyiapkan makanan. Ku hampiri dia.
“ kog nyiapin sendiri Biv?”
Aku berbasa - basi.
“ ehh Vis.. ayoo makan, udah sedia semua, nasi goreng dengan kecap kental, dan telur mata sapi,” jawab Bivo sambil menarik kursi didepanku mempersilahkan aku duduk disana.
“ terima kasih, wah,, kamu emang paling tahu kesukaan aku Biv...”
Aku kegirangan dan dengan lahap memakan nasi goreng itu.
Bivo juga segera memakan dengan lahap. Terlihat sekali dari cara makan kami, kami sangat kelaparan.
.................................................................
Udara menjelang sore lumayan sejuk. Kurasakan angin semilir menyentuh kulitku. Ku coba membuka mataku dan melihat jam diponsel ku. Pukul 15.05. ku lihat cahaya matahari sore masuk ke dalam kamar melalui celah - celah jendela yang di buka Bivo tadi pagi. Tak ku sangka hampir lima jam aku ketiduran.
Aku segera bangun dari tempat tidur. Sore ini lumayan cerah. Ku ambil handuk didalam tas ranselku dan segera mandi.
Selesai mandi ku cari Bivo keluar rumah. Ku lihat dia sedang sibuk memandikan mobilnya.
“ Biv...” sapaku
“ hmm...” jawab Bivo datar sambil terus mengelap - elap mobil kesayangannya.
“ sore ini, kita ke makam Nico yuk..” ajak ku
Kali ini Bivo menghentikan aktivitas mencuci mobilnya dan menolehku.
“ apa gak besok aja ?”
“ aku maunya sekarang,” kataku sambil merengut didepan muka Bivo.
Bivo tersenyum dan mengacak - acak rambutku yang masih basah karena baru kelar mandi.
“ kamu kangen sama Nico ?”
Aku mengangguk.
“ kamu gak kangen sama aku ?”
Aku tersenyum geli mendengar pertanyaan Bivo.
“ kangen kog” jawabku singkat.
“ kalau kangen peluk donk,” Bivo sungguh - sungguh dengan ucapannya.
Aku memeluk Bivo. Bivo yang ku peluk sepertinya tidak menyangka aku akan memeluknya.
“ Bivo.... aku mau jujur sama kamu....”
“ hmm.. jujur apa...?” tanya Bivo terlihat kikuk.
“ kamu......”
“ hmmmmmmmm....”
“ kamu.. bau banget tahu gak ... bau asemm.... pantes aja nyuruh – nyuruh meluk... “ jawabku sambil mendorongnya dan manyun didepannya.
Bivo tertawa kemudian menggeleng. Menatap ku seperti seorang kakak menatap sayang pada adik kecilnya yang mungil dan lucu.
.........................................................................
Semilir angin sore di padang ilalang dekat pemakaman begitu menyejukkan. Aku dan Bivo sudah duduk disamping makam Nico yang telah dipugar dengan keramik berwarna hitam. Aku tersenyum memandangnya. Ada sesuatu yang menusuk degup jantungku. Ada kerinduan yang tersirat disela - sela semilir angin padang ilalang. Mata ku sudah memerah, namun aku masih sanggup untuk menahannya. Ku pejamkan mataku dan bibirku mulai berkomat – kamit mebacakan serangkaian doa kepada Tuhan. Memohon ampunan atas segala dosa – dosa Nico, dan mengiba kepada Tuhan untuk mau menerima Nico didalam surga Nya.
Angin dari padang ilalang itu masih berhembus. Membawa aroma yang entah bagaimana aku merasa itu adalah aroma parfum seorang Nicolas dengan mengenakan seragam putih abu – abu. Kali ini sudah tak terbendung. Aku menunduk dan semakin menunduk hingga wajahku menempel pada makam Nico. Rindu ini tidak terobati. Sama sekali tidak terobati. Bahkan kerinduan pada Nico kini jauh lebih dalam lagi setelah aku berada disamping makamnya.
“Vista....”
Bivo membangunkan aku dan memelukku. Tangannya yang kekar dengan lembut membelai kepala ku. Dia menciumi kening dan kepalaku sambil mengangguk - angguk. Dia hendak meyakinkan ku bahwa semua telah terjadi dan semua baik – baik saja. Aku membalas pelukan Bivo dan seperti anak kecil. Aku ingin Nico kembali. Meskipun itu mustahil. Aku ingin memeluknya sekali lagi, cukup sekali lagi.
Bivo segera duduk disampingku dan ikut membelai kepala makam Nico seakan sedang memegang pundak Nico.
“ percaya sama aku Nic... aku bakal jagain Vista.. apapun yang terjadi, kamu sekarang udah tenang dengan kehidupan baru kamu disana, dan aku dan Vista... akan memulai hidup baru disini.. aku janji.. gak akan pernah nyakitin dia.. masih sama seperti janji ku yang dulu....”
Entah apa yang dijanjikan Bivo dulu kepada Nico. Aku tidak mau banyak bertanya dalam keadaanku yang lemah dengan kenyataan seperti ini.
Tak lama kemudian Bivo mengajak ku pulang. Dia tidak ingin lebih lama melihat ku tak berdaya seperti tadi. Aku menurutinya. Bivo memapahku hingga ke mobil.
Bivo memandangku dengan wajah memelas.
“ Vis .. maukah kau berjanji ? jangan menangis lagi disamping makam Nico.. “
Aku sedikit trenyuh mendengarnya. Dengan basa – basi aku bertanya.
“ memangnya kenapa Biv ?” masih dengan muka memelas.
“ gua takut aja dikirain warga kuntilanak yang nangis, apalagi kamu nangis minta Nico bangun lagi. gimana kalau tiba – tiba itu kuburan bergerak dan Nico bangkit dari kubur.. apa gak seremm...”
Sumpah.... setengah gondok dan ingin tertawa juga aku mendengar penuturan Bivo. Aku mencubit perutnya.
“ Bivo... gak lucu yah.. aku pikir kamu tuh mau bilang kalau aku nangis takut Nico ikut sedih, apa gimana.. masa ngasih tahu kalau Nico bangkit dari kubur.. bener – bener tau gak...”
Aku sambil sedikit tertawa dan sedikit melotot pada Bivo. Dan Bivo masih dengar cengiran kas nya, dia yang mukanya dibuat bodoh atau memang bodoh beneran, entahlah.....
“ tapi... jujur ya Vis... lihat kamu nangis kek gitu ke Nico, gua jadi iri... apa ntar kalau aku mati juga bakal kamu tangisin ampe segitunya ?”
“ yee... ya udah.. kamu mati dulu.. ntar kamu lihat aja sendiri aku bakal nangisin kamu kayak apa, yang pasti aku gak mau nangis di samping makam kamu...”
“ kenapa ???”
“ karena kamu pasti ketok – ketok dari dalem kubur suruh aku bukain liang lahat kamu,, terus nyuruh aku kasih lampu biar kamu gak gelap – gelapan.. kalau perlu nyuruh aku kasih tambahan oksigen, dan bawain kamu selimut biar gak kedinginan, kalo gak kamu pasti bakalan miscall – misscall aku tuh dari dalam kubur, aku sih berharap hp kamu di dalem gak dapet sinyal... wekkkkk” jawabku sambil menjulurkan lidah.
“ hahaahaa... enggaklah.. aku gakkan serempong itu kali Vis... cuman...”
“cuman apah.....”
“ cuman aku bakal minta kamu buat nemenin aku bobok bareng didalam kubur... hhahaaaaaa”
“ idihhhhh.... serem amatt... tuh kan aku tuh dah nyangka.. kamu emang bakalan jadi mayat paling ngrepotin seluruh dunia, lagian aku suruh temenin mayat gitu,.,, ogah..ogah... gak mau...”
“ yakin gak mau ???? nanti boboknya aku kelonin tau Vis.... ahahahhaa”
“ iiihhh.. emang dasar yah, udah mati aja otak mesumnya masih hidup aja....”
Kali ini aku dan Bivo benar - benar bisa tertawa lepas. Aku merasa benang rindu ku telah bisa terobati. Bivo memang selalu bisa mengisi kekosongan hati ku. Membuatku tertawa dan yah.. merasa bahagia.
Bivo segera menstater mobilnya. Dan buru - buru meninggalkan area pemakaman karena sebentar lagi datang waktu magrib.
...................................................................
Bagian 16
Malam ini Jogja hujan begitu lebat. Tidak ada satupun pintu yang terbuka. Semua orang sudah terlelap. Mereka pasti malas keluar rumah dalam keadaan hujan. Jadi banyak dari mereka memutuskan untuk tidur lebih awal.
Berbeda dengan orang serumahnya yang sudah tidur lebih awal. Ardi masih sibuk dengan soal - soal didalam laptopnya. Sambil sesekali meneguk secangkir teh yang mulai dingin. Rasa kantuk karena hawa dingin, tak dia hiraukan. Dia terus bersemangat membuat soal - soal untuk mahasiswanya.
Setelah merasa penat. Dia menggelengkan kepalanya. Dia kemudian berdiri dan keluar kamar menuju dapur. Sms dari kekasihnya tadi sore sudah membuatnya lega. Setidaknya dia tahu kalau kekasihnya baik - baik saja. Dan dia tidak perlu kawatir karena dia menitipkan kekasihnya pada adik kesayangannya.
Suara gemericik air membuat Ardi penasaran. Sederas apa suasana diluar. Dia mengintip dari balik jendela yang tirainya sudah ditutup semenjak sore hari. Ternyata cukup deras dan membuatnya menutup kembali tirai itu.
Ardi duduk didepan tv sambil meneguk kembali secangkir teh hangatnya yang baru saja dia ganti di dapur. Kemudian dia teringat tentang kekasihnya. Dia tersenyum tipis mengingat kekakuan kekasihnya. Tak lama dia juga mengingat kekakuan adiknya. Dia juga tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sekali lagi dia menyeruput teh hangatnya. Dan entah darimana, dia tiba - tiba teringat dengan tawa lepas kekasih dan adiknya saat mereka bersama.
Ardi bangkit dari kursi. Dia mengurungkan niatnya untuk menonton tv. Dia hendak kembali ke kamar. Namun ketika sampai di depan kamar adiknya. Dia menoleh dan tersenyum melihat kamar itu terbuka lebar. Ardi hendak menutup pintu. Sampai akhirnya dia melihat bingkai foto dikasur adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu memandangi foto itu. Dan selalu menaruhnya didalam laci. Tidak pernah dipajang di mejanya.
Ardi sebenarnya tidak penasaran sama sekali dengan foto itu. Hanya saja dia ingin membantu adiknya meletakkan foto itu didalam laci meja adiknya, seperti biasa. Pelan - pelan dengan masih memegang secangkir teh di tangan kirinya, Ardi berusaha mengambil foto itu. Foto dengan ketiga sahabatnya, pasti sangat berarti bagi adiknya.
Ardi sudah mengambil foto itu dan hendak meletakkan didalam laci. Namun dengan seksama dia memperhatikan salah satu diantara teman - teman adiknya. Gadis mungil berseragam SMA dan rambut di ikat serta berponi kesamping kiri. Dia merasa tidak mengenali pose gadis itu, namun.. senyum dan tahi lalat kecil dibawah bibir persis disamping kiri itu. Tentu saja dia sangat mengenalnya.
Ardi duduk didepan meja. Meletakkan secangkir teh hangatnya dan kembali memandangi foto gadis itu. Kini dia tertunduk lemas. Namun tak selang berapa lama, dia ingin marah. Dia ingin memaki dirinya sendiri. Dia mengutuk dirinya sendiri bahwa dia adalah laki – laki yang bodoh karena merasa telah dipermainkan adik dan kekasihnya atau lebih tepatnya, tunangannya.
Ardi segera ke kamarnya sambil masih tetap memegang foto berbingkai itu. Dia tiba - tiba geram. Dia sudah melupakan sama sekali tentang teh hangatnya. Dia segera menghubungi nomer ponsel adiknya. Tidak bisa....
Kemudian dia berusaha menghubungi nomer ponsel kekasihnya. Hasilnya nihil. Diluar jangkauan. Dia banting keras - keras hp nya. Tiba - tiba saja tubuhnya bergetar. Matanya merah, antara marah dan kecewa. Dia kembali teringat. Bagaimana reaksi kekasihnya saat bertemu dengan adiknya yang begitu kaku. Dia ingat. Bagaimana adik dan kekasihnya adalah orang yang dia kenal sangat kaku namun kemudian saat mereka berdua bersama bisa menjadi cair. Dia ingat bagaimana dia sendiri tidak pernah bisa membuat kekasihnya tertawa lepas namun adiknya bisa.
Nafasnya tiba – tiba tersenggal. Kemudian rasa takut menyeruak didalam hatinya. Amarahnya memuncak. Dia kini merasa takut, sangat takut jika tiba - tiba kehilangan kekasihnya. Dia merasa takut dihianati adiknya sendiri. Dia merasa bodoh sudah percaya dengan adiknya. Dia benar – benar bodoh. Giginya menggeretak, seolah geram dengan penghianatan ini.
..........................................................................
Tak berbeda jauh dengan Jogja, di Wonogiri pun sama. Hujan turun dengan lebat, sejak adzan Isya. Dan diperparah dengan pemadaman listrik. Aku dan Bivo hanya saling diam di ruang tengah dengan cahaya lilin yang remang - remang. Dari balik jendela terlihat kilatan cahaya petir yang menyambar - nyambar.
Bivo berusaha memejamkan matanya. Namun tak juga bisa. Aku yang bersandar disofa panjang didepan Bivo pun hanya rebahan dengan gelisah. Fikiran itu kembali hadir. Selalu dan selalu saja hadir setiap kali aku merasa sepi.
“ sedang apa kamu disana Nic ?”tanyaku dalam hati.
Tak selang berapa lama Bivo beranjak dari kursinya.
“ aku tidur duluan yah Vis, ngantuk banget nih.. kamu jangan tidur malem – malem.. “
Aku hanya mengangguk mendengar Bivo berpamitan. Kulihat dia mulai menaiki tangga lantai dua. Merasa sendiri dan semakin sepi, ku putuskan untuk tidur di kamar sebelah Bivo. Aku pun menaiki tangga pergi ke lantai dua dan memasuki kamar yang disediakan Bivo untuk ku.
Ku lihat dari sela ventilasi, kamar Bivo gelap. Dia memang tidak suka dengan cahaya. Sedangkan aku, aku paling takut gelap, makanya dari tadi aku membawa lilin besar agar cahayanya tidak redup.
Ku letakkan lilin besar diatas piring itu di meja samping kasur. Sambil rebahan ku lihat langit - langit kamar Bivo. Seperti melihat layar lebar, aku seolah bisa melihat Nico, Bivo, Rani dan aku duduk dikantin sekolah, tepatnya dikantin Mbah Buncis. Aku tersenyum melihat Bivo yang nyengir - nyengir mendengar suara berisik Rani yang sedang berebutan makanan dengan Nico. Aku tersenyum melihat tawa lepas Nico. Kemudian aku kembali melihat aku, Bivo, dan Nico berlari pagi. Yah dijalan itu, jalan dan batu besar kenangan penuh arti.
Tiisss.......
Kembali ku teteskan airmata ini. Ku coba memejamkan mata ku dan tak ingin lagi melihat layar lebar didepan mata ku. Ku tutup rapat - rapat. Rasa kantuk ku mulai merasuk. Perlahan aku terpejam. Namun ... tak lama.. aku seperti merasa berada di suatu tempat yang tidak asing. Aku disebuah pesta.. dan... aku melihat Nico... iyah.. aku melihat Nico di ujung jalan.. aku berlari.. aku berlari sekuat mungkin... tapi Nico semakin menjauh... aku berteriak memanggil Nico, mengiba agar Nico kembali kesini.
“ Nico....”
Nico hanya melihatku dan tersenyum, dia terus berjalan ke tengah jalan, sambil menangis aku masih tetap berlari mengejarnya, tapi kemudian... sinar cahaya lampu datang... sebuah mobil menuju ke arah Nico... aku berteriak.. tapi Nico tidak mendengar..
“ Nico... awas.. Nic.....”
Nico tetap tidak mempedulikan aku, sampai kahirnya mobil itu semakin dekat... dia semakin sekat dengan Nico.. dan....
“Nicoooo.........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Aku berteriak panjang. Aku memejamkan mata. Seperti ada yang memelukku. Aku berusaha membuka mata ku. Dan saat ku buka mata, aku sudah berada di dekapan seseorang. Aku memeluknya erat.
“Nico kah yang memeluk ku ?”....
Aku menangis sesenggukan.
“Nico... janggal tinggalin aku lagi. hikksss”
“Vista......”
Kali ini aku baru sadar, bukan Nico yang memelukku. Ku lepas dekapan itu dan melihat wajahnya.
“Bivo......”
“ kamu gak apa – apa kan ?”
“aku.... aku.... Bivo...tadi... Bivo... Nico... Nico..Biv...Nicoo....” aku tidak bisa melanjutkan kata - kata ku.
Aku menangis sesenggukan. Bivo kembali memelukku dengan erat. Dia membelai - belai kepala ku, berusaha menenangkan ku. Ada segurat senyum pait di bibirnya melihatku seperti ini. Matanya memerah, entah apakah dia ingin menangis sama seperti ku yang menangisi Nico, atau sedang memikirkan hal lain. Aku tidak mau tahu.
“tidur lagi yah Vis... masih malem..”
“ tapi aku takut Biv... aku takut gelap... aku takut... aku takut gak bisa nahan perasaanku sendiri setiap kali bermimpi tentang Nico..”
“ aku temenin kamu tidur... yahh..”ucap Bivo sambil membaringkan aku dan menyelimutiku.
“Biv... tidur disamping aku aja, aku takut... lilinnya juga udah habis, disini gelap banget..”
Bivo hanya mengangguk. Kemudian dia merebahkan badannya disampingku. Aku mulai tenang, dan mulai memejamkan mataku kembali. Tapi tetap saja, lagi – lagi aku masih terbayang - bayang wajah Nico.
“Biv....”
Bivo membuka matanya, dan berpaling melihatku.
“Peluk....” ucapku lirih.
Bivo merapatkan badannya didekatku. Dia membelai kepalaku. Kemudian memelukku. Hangat.
Aku memejamkan mataku. Ku rasakan ada kecupan hangat di keningku. Namun aku tetap tidak membuka mata. Aku merasa kecupan itu menjadi sumber kenyamananku. Kemudian aku merasa, Bivo menyelimuti seluruh tubuhku, dan kembali memelukku. Aku bisa tertidur pulas, dalam dekapan Bivo.
......................................................................................................
Suara kicau burung bersahutan dari belakang rumah Bivo. Aku mulai membuka mataku perlahan. Bivo sudah tidak ada disampingku. Sepagi ini dia sudah pergi dari tempat tidur. Aku memastikan kondisiku. Ups... jujur saja semalam bersama laki – laki yang meskipun notabene sahabat dari lama aku perlu waspada juga. Jangan sampai terjadi hal – hal yang tidak diinginkan. Tapi setelah aku cek sepertinya aku tidak salah memilih Bivo sebagai sahabat terbaik, dia benar – benar menjaga ku.
Ku turuni tangga rumahnya, dan mencari – cari keberadaan Bivo. Ku lihat dia sedang didapur hanya mengenakan handuk tanpa baju. Badannya yang kekar dan bidang dia biarkan terbuka begitu saja.
“Bivo....”
Dia menoleh dan tersenyum.
“Tuan puteri sudah bangun. Maaf yah belum mateng indomienya. Sebentar lagi yah”
“Bivo... kenapa kamu pagi – pagi udah mandi keramas, dan kenapa sampai sekarang masih pakai handuk begitu” tanyaku menyelidik.
Aku yang tadinya tidak berburuk sangka jadi menaruh curiga dengan Bivo. Dan sepertinya dia mengerti arah pertanyaanku. Dia tersenyum menggodaku. Mata sebelah kanannya dikedip – kedipkan kearahku. Kemudian asyik lagi dengan mengaduk – ngaduk indomie didepannya.
“semalam aku hebat kan?” tanyanya sambil terus mengaduk indomienya.
“a...apa maksudnya hebat nih..” aku jadi semakin curiga kalau – kalau Bivo berbuat yang tidak – tidak saat aku terlelap tidur.
Klekkkkkk......
Bivo mematikan kompor dan membalikkan badannya. Dada nya yang bidang kini dia pamerkan padaku. Perlahan – lahan dia berjalan menghampiriku yang berdiri disamping meja makan tidak jauh dari tempat dia berdiri. Dia kini didepanku.
“bukankah semalam kamu yang menginginkannya, kamu yang ingin aku melakukan itu kan” matanya masih melihatku dengan menggoda sambil terus akan melangkah mendekatiku.
“see...setoopp Bivo jangan maju lagi, mari kita luruskan pembicaraan kita kali ini, aku tidak ingat apa – apa semalam, jadi mari kita duduk dan bicara baik - baik” ucapku gugup
Bivo masih terus melangkah sambil tersenyum menggoda, dan matanya tajam menatapku sampai akhirnya dia mengunciku di antara tangan kanan dan kirinya yang berpegangan dibibir meja makan. Bivo didepanku dan aku benar – benar gugup sekali.
“kamu sungguh tidak ingat....”
Aku menggeleng....
“apa perlu kita melakukannya lagi agar kamu ingat apa yang terjadi malam tadi?” katanya sambil terus memepetku dan mendekati wajahku.
“setoppp Bivo... setooppp....” aku menutup mataku ketakutan.
Kemudian Bivo tertawa terbahak – bahak.
Pelan – pelan kubuka mataku, dan melihat Bivo masih ada didepanku.
“aku gak mungkin ngelakuin hal yang belum waktunya buat kita lakukan Vista.... kecuali....“
“kecuali apa??”
“kecuali kamunya maksa....”
“ihh... Bivo..beneran semalem gak ada apa – apa?” ucapku sambil mencubit perutnya.
“haha..iya.....”
“terus ngapain kamu pagi – pagi udah bangun? Mana gak pake baju, Cuma pake handuk, habis mandi keramas pula...”
“ya Tuhan Vis... kita tidur pas mati lampu, gelap – gelapan gak pake AC, gerah banget... ,makanya aku mandi keramas pagi2 biar seger, tadinya mau pakai baju, tapi perut laper banget, yaudah bikin indomie dulu, mana tau sih kamu udah turun dan tiba – tiba berdiri dibelakangku”
“terus....”
“terus apa Vis?”
“terus kenapa sekarang masih didepanku sexy begini.. aku nerveus...”
Bivo baru menyadari, dan langsung mundur.
“sorry ... sorry.. tadi mau bercandain kamu... yaudah aku pakai baju dulu, abis itu kita sarapan yah..”
“mm... tapi aku pengen mandi dulu...”
“yaudah ayukkk...”
“ayukk apa... ??”
“mandi bareng hahahha...”
“iihhh Bivooooo....” teriakku kesal sambil melempar sumpit dimeja makan. Bivo lari ke atas. Sekalian ganti baju.
Hari ini hari terakhir di Wonogiri, dan kami memutuskan untuk mengunjungi beberapa tempat yang menurut Bivo lumayan ngena tempatnya.
Bivo sudah menenteng tas kecil dan kamera di lehernya. Aku menyusul Bivo ke mobil.
“Hari ini kita kemana Biv?”
“pokoknya ikut aja, tempat ini kamu pasti belom pernah datengin dan tempat ini tuh lumayan buat nenangin fikiran kamu”
Aku hanya mengiyakan ajakannya.
Kali ini aku benar – benar menikmati perjalanan. Kaca mobil sengaja ku buka agar aku bisa menghirup dalam – dalam udara pedesaan. Terutama saat setelah melewati sebuah Gapura bertuliskan ‘Selamat Datang Desa Girirejo – Tirtomoyo”. Rasanya langsung cless.... udara sejuk menghinggapi pori – pori kulitku.
Aku takjub, jalanan berkelok – kelok dan aku bisa melihat pemandangan sawah yang asri, di saat disebuah jalanan turun yang berkelok, aku melihat ke seberang ada sawah membentang dan gunung menjulang tinggi, aku merasa ini seperti pemandangan di Gunung Kidul Jogjakarta.
Kami sudah mulai memasuki area hutan pinus, ku toleh Bivo tampak berkonsentrasi mengendarai, karena memang jalan ini sangat sempit, curam, berkelok – kelok tajam. Tapi dibalik ini semua pemandangan hijau sungguh menyejukkan mata.
Tak sampai beberapa lama kami telah sampai dipuncak hutan. Bivo memarkirkan mobil ketepian jalan. Kami turun dari mobil. Dan waow... ini benar – benar sejuk, damai, dan menenangkan.
“Gimana Vis?”
“Keren Biv,, kita dipuncak gunung, dan kita bisa lihat gunu
ng lagi. ini kita dimana sih Biv...”
“Ini namanya Gunung Tunggangan, sini Vis... kita agak kesini biar kamu bisa lihat diseberang sana”
Aku mengikuti langkah Bivo, dan benar saja, di area ini aku bisa melihat pemandangan seberang tanpa tertutup pohon yang tinggi menjulang
“itu gunung apa ya Biv...”
“Kata orang sih itu Gunung Lawu, pakai kamera deh, coba kita zoom, kamu bisa lihat nanti di puncak gunung itu banyak kabut yang mulai terangkat keatas”
Bivo berdiri dibelakangku dan melingkarkan tangannya ketubuh ku sambil memegang kamera.
“Lihat deh Vis, keren kan,” katanya sambil menunjukkan pemandangan dilayar kamera yang dipegangnya.
Aku mengangguk, sesekali aku melirik wajah Bivo yang berada tepat disamping telingaku sambil terus menjelaskan tentang panorama alam yang ada dihadapanku. Ada perasaan yang mulai aneh. Rasa deg – deg.an, rasa senang atau juga rasa yang tidak karuhan yang tidak bisa disebutkan dengan kata – kata.
“Vis..... duduk disitu yuk”
“oh.. yuk....”
Kami duduk disebuah tempat dipinggir jalan yang biasa disebut bok oleh orang Jawa.
“kamu sering kesini Biv?”
“mmmm.... gak sih, baru dua kali ini, aku kesini gak sengaja Vis, waktu itu aku lagi galau berat ditinggal pergi sahabatku, ngilang gak tau kemana, jadi aku nelusurin jalan aja, eh nemu tempat ini, dan ternyata disini tuh enak banget buat sekedar ngelepas rasa nyesek dihati”
Aku tersenyum mendengar penuturannya, aku tau siapa yang dia maksud.
“Vis... mau kita nostalgia ke tempat kita bolos sekolah dulu?”
Aku mengernyitkan dahi.
“Ke Pantai.....”
“Boleh.... yuk.....”
Kami beranjak dari situ, dan segera pergi ketempat lain.
Perjalanan menuju ke Pantai ini agak jauh. Bisa makan waktu 2 atau 3 jam. Dan melewati sekolahan kita dulu. Aku tersenyum kecut saat melewati sekolahan ini. Bivo melihatku yang masih memandangi sekolah SMAN 1 Baturetno melalui kaca spion mobil.
Tiba – tiba tangan Bivo sudah menggenggam erat tanganku. Dan mengangguk.
Setelah melalui perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya aku sudah bisa melihat pohon – pohon pandan ciri khas pantai.
Bivo memarkirkan mobilnya. Kami turun dari mobil. Dan berjalan menuju bibir Pantai. Pantai ini cukup indah, dengan hamparan pasir putih. Pantai di Selatan Wonogiri yang penuh kenangan. Untuk bisa menyentuh air kita harus menuruni beberapa anak tangga. Agak tinggi juga sih, tapi jangan kawatir, di Pantai Nampu Paranggupito ini anak tangga sudah sangat rapi tatanannya.
Bivo mengajakku duduk dipinggir pantai dekat karang.
“nah sekarang boleh deh kamu teriak sekenceng – kencengnya mumpung masih pagi, ntar kalau udah siang, bakal banyak pengunjung yang datang” ucap Bivo.
Aku melepas sepatu ku. Dan mulai berjalan di bibir pantai.
Indah banget disini. Aku melebarkan tanganku seperti burung yang sedang melebarkan sayapnya. Ku pejamkan mataku. Bivo masih sibuk dengan kameranya. Dia mengambil beberapa fotoku dengan diam – diam.
Ku hembuskan nafasku perlahan, dan seolah ada yang memanggilku.
“Vis..............”
“Vis........ lempar kesini Vis....... “
Aku menajamkan lagi pendengaranku.
“Vis.... jangan kasih Nico, nanti kamu jadi kucingnya, lempar bolanya kesini......”
“Vis... kasih aku, kalau kamu sama Bivo kamu gak akan terjamin hidupnya, lempar sini aja...........”
“Jangan Vis... gua satu2nya sahabat cewe yang bisa kamu percaya.... kasih bolanya....”
Aku masih kebingungan, dan akhirnya mereka bertiga berlari mengejarku.
“Rani.... aku dikejar Bivo dan Nico... aku kabur dulu.....” teriak ku sambil diselingi tawa terbahak – bahak.
“aaaaaaaaaaaa............ aku berteriak ketika Nico menangkapku, dan Bola diambil oleh Bivo,”
Bukannya mengejar bola yang dibawa Bivo, Nico malah mengangkatku dan membopongku sambil lari – lari.
“Biv.... kamu ambil aja tuh Bola, aku ambil yang pegang bolanya aja....hahahaha”
“woeee... turunin Vista woe....” teriak Bivo sambil berlari mengejar Nico yang membopongku sambil berlari. Kami berempat tertawa sambil terus berkejar – kejaran.
“Ran..... Biv.... raih tangan gua..... gua mau dibawa ke kerajaan Siluman Nico .....” teriakku sambil terus tertawa dan menyemangati mereka.
‘Nico .. turunin aku dudul... wkakkak oneng “.....
“Nicooo.........................Nic... turunin gua... Niccccc.......”
Teriakan ku kemudian membuyarkan semuanya.
Aku tersadar, aku sedang berdiri di bibir pantai sendirian. Mmm... sendirian tadinya,,, tapi setelah kupastikan ternyata Bivo sudah duduk disamping kiri ku.
Aku yang sedari tadi berdiri ikut duduk disamping Bivo.
“masih belum move on Vis???”
“hmmm.... Biv.... thks ya udah bawa aku kesini, setidaknya... aku sudah melepas sedikit rindu dengan sahabat – sahabatku...”
“mmm... Vis... maafin aku ya....’
“buat??”
“ buat yang udah terjadi dan seharusnya gak pernah terjadi, aku minta maaf....”
“ini semua sudah dari sananya Biv... btw makasih juga udah jadi sahabat terbaikku”
Bivo mengangguk dan merapatkan duduknya didekatku, tangannya kanannya kini berada dibelakangku.
“Biv.... waktu aku pergi, kamu kerumah ku ?”
“iya”
Aku mengangguk.
“kenapa ?”
“enggak, Pak RT ada cerita soal.....”
“Soal anak muda berseragam yang dikira maling lagi mantau rumah kamu”
“ahahahah.... iya... ternyata itu kamu..aku kira....”
“kamu pikir itu Nico ya ??.... aku juga gak habis fikir sih Vis... kayaknya aku gila ya, masa setiap hari aku mantau rumah kamu, buat mastiin kamu beneran udah pergi atau bakal balik lagi kerumah.”
“Lagian kamu aneh, udah tau aku pergi masih aja ditungguin”
“iya... dan bahkan sampai detik ini pun aku masih nunggu kamu Vis....”
Bivo menatapku. Ada perasaan yang dalam diantara kita, ada perasaan yang aneh, aku mulai meyakininya. Yang tadinya aku mengelak. Rasanya sekarang tidak mungkin ku elak lagi.
‘Vis.... kamu tau gak kenapa Tuhan nyiptain senja...”
“kenapa?”
“agar kita bisa menghargai waktu... senja itu Cuma datang sesaat, makanya saat senja tiba, jangan sia – sia kan waktu untuk mengutarakan perasaan bahwa kamu mencintai senja... sebelum dia pergi lagi dibawa sang malam”
“kamu pernah menyia – nyiakan senja?”
“pernah.... dan aku menyesal... tapi aku berharap senja mau memaafkanku, dan kembali datang walau sesaat”
Aku menggarukkan tanganku ke pipi, tanpa kusadari ada beberapa butir pasir yang menempel di pipi ku. Bivo tersenyum melihat muka ku.
“kenapa sih Biv.... senyum - senyum gak jelas”
“kamu mau facial pakai pasir pantai?”
Tangan kiri Bivo bergerak menyapu pasir – pasir di pipiku, sementara tangan kanannya kini tengah memegang erat tangan kanan ku dari belakang. Mata kami bertemu dibeberapa detik dan membuat ku tersipu. Aku menundukkan kepala ku, sampai akhirnya tangan Bivo kembali menyentuh daguku. Dengan lembut Bivo menegakkan wajahku yang tertunduk malu. Kini aku jelas – jelas bisa merasakan tajamnya tatapan matanya, dan hembusan nafasnya kini semakin terasa diwajahku. Aku memejamkan mataku, sampai akhirnya aku merasakan ada yang menyentuh bibirku. Lembut dan Hangat....
Aku mencoba melepaskan, tapi tangan kanan Bivo semakin erat menarikku maju ke hadapannya. Sampai akhirnya aku benar – benar mendorongnya, dan tak berapa lama akhirnya Bivo melepaskan ku. Aku dan Bivo sama – sama canggung dengan keadaan ini.
Aku berdiri, dan berjalan mengambil sepatu ku didekat karang dipinggir pantai. Bivo ikut berdiri dan mengikutiku.
Sekali lagi dia menatapku. Aku jadi salah tingkah. Dan akhirnya menginjak batu karam yang tajam dan melukai telapan kaki ku. Bivo melihat kaki ku, kemudian Bivo duduk membelakangi ku.
“Biv...?”
“ayo naik ke punggung, aku gendong kamu deh sampai di anak tangga”
Aku ragu – ragu, tapi akhirnya naik juga kepunggungnya. Bivo mulai berjalan menggendongku.
“kamu jarang makan ya Vis...”
“kenapa emang?”
“enteng banget,,, kirain banyak beban hidup bikin kamu berat.. ternyata kaya kapas gini entengnya...”
Aku tersenyum mendengarnya. Ku peluk erat lehernya dari belakang dan kusandarkan kepalaku dipundaknya. Nyaman. Iya... aku merasakan kenyamanan dalam gendongannya.